Minggu, 29 Mei 2016

Do not Wait So Long
Tidaklah harus ada ikatan darah ataupun sebagai ikatan keturunan untuk menyatakan ikatan hati kita. Sungguhlah mulia ikatannya, sungguh inilah nikmat Tuhan yang tak pernah kita sangka. Hatimu dan hatiku memanglah jauh, tapi begitu banyak hal yang membuatnya begitu dekat. Kita ini dua raga dan dua nyawa yang berbeda. Tapi berharap menjadi satu. Begitu banyak kau melengkapi cacat raga ini, banyak pula kau menyempurnakan setiap kelebihanku. Suka maupun duka dikau selalu ada di dekatku. Walau sebenarnya kau jauh di sana, entah dimana. Aku masihlah mencintaimu seperti dulu kala waktu itu.
Entahlah, kata-kata yang terbesit dalam hatiku itu sungguhlah tabu. Apakah ini yang dinamakan cinta? Kami memanglah terikat dalam ikatan pernikahan. Tapi hati kami memanglah tak pernah terikat, antara nya dan aku sekakan ada jarak di antaranya. Karena aku tak bisa mencintai sebuah bayangan belaka, aku mencintai dirinya dari dirinya.
"Aku mengerti mungkin memang butuh waktu untukmu mengerti. Bagiku perjodohan ini juga tak adil untukku," kata suamiku itu menatapku dikejauhan. Yang ditatap malah sibuk menatap langit lewat jendela. "Tapi, aku mulai merasakannya, Sania. Beberapa bulan ini aku merasakan hal yang aneh, aku mulai mencintaimu Sania. Jika kau tak merasakan hal yang sama, tak apa. Semenjak kita berlagak di depan orang tua kita. Dan kita menyembunyikan hal sebenarnya dalam hati kita. Disitulah mulailah hatiku terisi oleh dirimu. "
Seandainya kau juga mengerti perasaanku padamu Salim, aku juga. Tapi dalam relung hatiku mengatakan bahwa kau bukanlah yang ku cintai. Aku mencintai Samir yang sudah tiada itu, bukannya dirimu, meskipun kalian berdua terlihat sama. Aku tak mungkin membalas ketulusan hatimu itu dengan sebuah kepalsuan.
Malam beranjak semakin matang. Gelap gulita, anginpun mulai menerobos menelisikkan udara dinginnya. Di atas kasur lantai Salim tertidur lelap. Jari tanganku sudah mulai memutih, udara. Hangat, sepotong kain selimut itu menumpang di tubuhku.
"Kau pasti kedinginan, Sania. Sudahlah kata-kataku tadi tak usah kau hiraukan. Pergi tidurlah," kata Salim yang mendadak terbangun itu. Katanya sungguh membuatku ingin tidur.
"Salim, maaf untuk semuanya."
"Maaf untuk apa? Mengapa kau sering sekali mengatakan maaf walau kau tak salah? Apakah kau memikirkan kesalahan besarmu padaku?" Salim kemudian melanjutkan kata-katanya lagi dengan menggeleng, "Tidak Sania, aku senang kau disini," Salim kemudian tidur lagi. Aku beranjak dari menatap jendela, menutupnya rapat dan kemudian merebahkan tubuhku di atas kasur berdipan. Di atas dipan ku lihat wajah lelahnya setelah bekerja, matanya sempurna tertutup. Wajahnya. Tanganku mendekat ke arah wajahnya yang tertutup rambut depannya yang memanjang, menyibaknya.
                Sejujurnya, aku juga senang kau disini Salim. Entahlah, perasaan ini rumit.
"Sania ..." aku sampai terkaget dibuatnya, rupanya Ia hanya mengigau.
Ku lihat tubuhnya yang bergelung kedinginan, selimutnya terlepas darinya. Aku menariknya, menyelimutinya dengan selimut yang terlepas.
                Festifal, ya tahun ini digelar festifal di pinggir dermaga. Dulu aku dan Samir sering ke sana berdua. Selalu berburu satu hal langka, ikan badut paling gendut. Atau beberapa kuda laut yang lucu. Tapi, sekarang itu semua tinggalah sebuah cerita dan berbekas menjadi sebuah kenangan yang tak ingin aku ingat.
 "Sania, ini mungkin sebuah permintaan sederhana yang bodoh, tapi ..."
Keningku mengernyit, berarti memperhatikan kata-kata Salim.
"Maukah kau mengambilakan aku sepiring nasi?"                           
Bukankah sudah kebiasaanku yang selalu mengambilkan nasi untuk sarapan Salim saat di meja makan? Saat ku letakkan nasi itu di piringnya itu pun akhirnya mengatakan apa yang ingin ia katakan sebenarnya.
"Begini, .."
Dahiku itupun mulai mengernyit lagi.
"Apakah kau tahu festifal itu?"
Aku mengangguk, meng-iakan.
"Apakah kau mau ku ajak kesana Sania, kalaupun kau tak mau aku takkan keberatan. Aku akan ke sana sendiri, karena disana ada kenangan yang ingin aku kenang, Sania." Mengapa Salim selalu mengingatkanku Samir?
Dadaku itu akhirnya terasa begitu sesak, kau tahu? Aku tak ingin mengingat masa lalu itu. Aku ingin menguburnya. Tapi kau, .. Akhirnya ku putuskan untuk duduk di kursi makanku yang berjauhan dari Salim dan tanpa menjawab pertanyaan yang lebih berat dari 1000 ton beras itu.
"Kau menemukan sesuatu Salim?"
"Kau tahu di mana dasiku, Sania?"
"Emh .."
Ku kenakan pada Salim dasi yang ku sembunyikan itu. Dan Salim tersenyum sambil menatapku.
"Kau tahu sudah berapa lama aku tak mencuci dasi ini?"
Akupun menggeleng, tak mengerti.
"Sudah 2 tahun lalu ketika perusahaan mendadak ku tutup karena sebuah urusan."
Aku mengerti betapa sibuknya Salim, bahkan di hari Minggupun dia masihlah mengurusi yang ini itu. Dan nanti sore, Salim berniat mengajakku ke festifal, bukankah itu suatu keputusan yang berat?
                Inilah keputusanku, saat Salim hendak bekerja, saat pintu mobil mewah seharga satu rumah bertingkat 3 megah itu terbuka,
"Salim ..?"
"Ya .." ia menoleh ke arahku.
"Kau tahu? Mungkin, untuk ikut kau ke festival bukanlah hal yang buruk."
"Yah, tentu." Salim sambil tersenyum, duduk memasuki mobil itu.
                Pukul 4 tepatnya, inilah janji Salim untuk pulang dan pergi ke festival. Sore ini adalah sore yang istimewa. Semenjak pernikahan itu, aku bahkan tak pernah terlalu mengurus tubuhku. Menghiraukan segala halnya. Bahkan rambutku jarang ku sisir. Sore ini semuanya berubah, rambutku itu ku ikat setengah dengan beberapa kepangan kecil, seperti sewaktu kuliah dulu. Kaos ¾ dan rok selutut itu ku kenakan.
"Sania, tolong bukalah pintu ini. Proposal yang ku bawa sudahlah terasa semakin berat!" Suara Salim yang ternyata dari tadi sudah memasuki rumah. Ia bisa masuk karena aku tak pernah mengunci pintu gerbang dan pintu depan. Karena ada satpam yang menjaga rumah.
Kreek .. kubuka pintu itu.
gubrak !!!
"Mengapa?"
"Tak apa," ia berkata sambil memperbaiki kaca matanya dan proposalnya yang jatuh.
"Kau sudah siap pergi ke dermaga untuk melihat festival?"
"Aku sudah siap, kira-kira sekarang seperti apa ya?"
"Hei sudah berapa lama kau tak kesana? Seperti bersemangat sekali."
Aku hanyalah diam, aku tidak ingin menjelaskan tentang Samir. Sudahlah, biarlah diriku saja yang tahu masalah ini.
Sesampainya di dermaga ...
 "Tunggulah di sini," kata Salim sambil berjalan menuju penjual permen kapas. Tak beberapa lama ia kemudian kembali dan tersenyum ramah.
"Sania, kau mau?"
                Festival ini sungguhlah masih terasa menakjubkan seperti 10 tahun lalu. Tetap ramai seperti dulu. Mungkin, hanya inilah hiburan untuk satu tahun yang melelahkan bagi warga kota ini.
                Udara di festival ini sungguhlah terasa lebih pekat, cobalah kau lihat di sana. Pasangan suami-istri ataupun pasangan kekasih pemuda tampak bahagia. Yang suami istri bahagia dengan putranya, yang muda sedang dihinggapi perasaan cinta, dengan malu tiada dua. Sedangkan kami berdua, hanyalah membuat ikatan pernikahan ini sebagai label, sekedar menyenangkan orang tua, tanpa dihinggapi rasa cinta. Tapi, hal itu teruslah berlalu kami berdua semakin lama memanglah semakin suka. Meskipun aku tak mengerti sebenarnya aku menyukainya karena dia Salim ataukah karena dia mirip orang yang dulu aku suka, Samir. Meskipun aku tidak menyukainya sebagai Salim, setidaknya aku mulai mengerti bahwa kami berdua sudahlah saling memahami.
"Salim, mengapa kau tak memegang tanganku?" Kulihat Salim yang sedang menatap pasangan lainnya sekakan dirinya ingin menjadi salah satu dari mereka.
"Sudahlah, bukankah kita sudah menikah? Dan kita halal untuk berpegangan tangan?" Kataku sambil mengambil tangan kekar Salim. Salim adalah orang yang baik bahkan semenjak menikah ia tak pernah sekalipun menyentuhku, kau tahu apa alasannya? Ya, karena pernikahan kami tidaklah didasari oleh rasa cinta, hanya itu. Salim menatapku masgul. Dan kemudian tersenyum tipis.
"Apakah kau ingin membeli sesuatu, Sania?"
Aku tersenyum dan kemudian menggeleng.
"Bagaimana kalau penjual ikan hias itu? Ikan badutkan kesukaanmu, ya kan?"
"Bagaimana kau tahu?"
"Felling ..!" Ia berkata sambil menunjuki kepalanya. Baru kali ini gurauan Salim benar-benar bisa membuatku tersenyum.
"Kau tunggulah di sini, Sania," Salim memutuskan pergi ke salah satu penjual ikan. Sambil menunggunya, aku memutuskan untuk berjalan-jalan sampai ku temui seorang gadis kecil manis yang sedang menangis.
"Kau kenapa?" Ku tanya itu sambil mengelus rambutnya.
Gadis itu masih saja menangis lucu.
"Permen kapasmu jatuh? Ini ambil saja milikku," aku berkata sambil tersenyum.
"Benarkah, kak?"
Aku mengangguk sambil tersenyum. Gadis kecil itupun juga kelihatannya senang, ia bahkan berlari riang ke sana ke mari.
                Tak beberapa lama, Salimpun datang dengan plastik berisi ikan badut.
"Ini untukmu, terimalah kau pasti suka."
Aku tersenyum ke arah Salim dan menerima ikan badutnya. Ku lihat wajahnya yang sedang tersenyum ramah, mengapa semua yang ada di dirinya terlukis padamu, Salim. Kau sudahlah seperti sebuah keajaiban untuk pengobat hatiku yang rindu untuk bertemu.
"Mengapa kau menangis?" Salim mengatakan sambil mengusap air mataku yang tak terasa menetes begitu saja.
Aku menggeleng lemah ke arahnya.
Airmukanya jugalah berubah begitu saja.
"Sania tunggulah kau di sini, aku akan segera kembali."
                Untuk menghilangkan segala kenangan itu, masa lalu yang menyakitkan yang tak ingin aku bahas, teringatlah aku pada kata Samir dulu 'jika kau bersedih hati Sania, ada 2 hal yang bisa kau lakukan berdo'a atau pergilah ke tepi dermaga ini dan tataplah laut luas ini dan anggaplah masalahmu dibawa oleh ombak-ombak ini. '
                Samir, mengapa kau meninggalkan aku sendiri? Mengapa kau meninggalkanku dengan segala rasa bersalah, mengapa. Aku berkata sambil menatap foto masa kecilku dan Samir.
"Hei, Sania. Sudah ku kira kau ke sini."
Kuusap pipiku yang berair itu, dan kemudian Salim duduk tepat di sisiku, sedikit berjauhan tepatnya.
"Hei, himme menolehlah kesini."
Saatku tolehkan kepalaku, di sanalah Salim sedang mulai memfotoku.
"Hei mengapa kau memfotoku?"
"Kau tahu Sania ini momen penting. Hari ini kau berpakaian rapih dengan rambut sedikit terurai, Sania. Kau cantik sekali."
Aku memaksa tersenyum, hanya menyeringai tipis tepatnya berkata, "Terima kasih, Salim."
"Nah, begitu senyum, himme."
Aku hanyalah tersenyum mendengar kata-kata Salim.
"Sania, mengapa kau sering kali menangis? Kau tahu kau bahkan selalu membuatku ingin membuat serial tangled dengan kau sebagai tokoh utamanya."
"Mengapa?"
"Karena ketika aku pulang bekerja dan aku selalulah melihatmu sedang termenung, sekakan kau bersedih hati. Dan rambutmu yang panjang itu selalu kau biarkan terurai, kau tahu? Bahkan ketika masuk rumah aku selalu menganggap akulah penyihir yang menyandra tuan putri."
Ku gelengkan kepalaku itu dan berkata, "Bukannya seperti itu Salim, mengapa kau berpikir seperti itu?"
"Karena aku tahu kau sedang memikirkan seseorang, ya kan? Mengapa kau tak bercerita padaku?"
Aku menatap Samir dengan tatapan heran.
"Sudahlah, kau tahu aku bahkan juga sedang jatuh cinta, Himme."
Aku tersenyum ke arah Salim, apalagi ketika ia memanggilku dengan sebutan Himme.
"Sebenarnya, memang ada seseorang yang sedang ku pikirkan 10 tahun terakhir ini, aku tahu ini gila."
"Aku juga, Sania. Mengapa kau tak bercerita?"
"Ini gila, Salim orang yang sedang ku pikirkan itu bahkan sudah meninggal."
"Tak apa, Sania. Ku kira itu tidaklah gila. Cinta memanglah takan pernah mengenal batas, Sania. Aku mengerti."
Semenjak sekian lama, aku tak ingin menceritakan hal ini, karena bahkan sahabatkupun tak ingin mendengarkanku untuk bercerita. Alasannya sederhana, mereka tidak ingin membicarakan hal menyedihkan ini. Dan hanyalah Salim yang ingin mendengarkannya.
"Kami adalah sahabat kecil yang akrab, dimanapun ada dia di sana ada aku. Dan aku mengerti semakin kami bertambah usia, ku akui aku memang jatuh cinta padanya, karena itulah aku mulai menjauhinya karena aku merasa takan pantas untuknya. Semakin lama ia menempuh jejak hidupnya semakinlah aku merasa banyak tertinggal di belakangnya, kau tahu? Inilah yang menyakitiku banyaklah gadis-gadis di sekolahku juga merasakan hal yang sama. Dia yang ku cintai mirip sekali denganmu, dan jika aku melihatmu itu selalu membangkitkan memoriku tentangnya. "
"Kukira semua tindakanmu itu juga menyakiti hatinya, Sania."
"Tak mungkin Salim, takan mungkin."
"Aku percaya kau lebihlah tulus mencintainya dari pada siapapun. Dan kau tahu Sania itulah yang selalu dicari orang, ingin dicintai secara apa adanya tanpa menatap keuntungan mereka."
"Tapi Salim, aku hanyalah seringkali merepotkannya dan ini berakhir saat ia terakhir menolongku. Pertolongan itu mengantarkannya menemui ajalnya. Ini menyakitkan, ketika melihat bus itu terjatuh menuju jurang, sekakan semua harapan hidupku terbawanya. Perasaanku ini takan pernah tersampaikan."
"Kau tahu Sania mengapa ia melakukannya karena ia mencintaimu hanya itu, ia tak ingin melihatmu mati."
"Itu salahnya, mengapa ia mencintai orang ceroboh seperti aku ini, itu salahnya."
"Tidak ada orang yang meminta untuk diberikan rasa cinta, mereka datang dengan sendirinya. Dan menurutku kau tak seburuk itu Sania kau adalah gadis yang baik hati. Aku tahu kau memberikan permen kapas dan melepaskan ikan badut itu ya kan?"
"Aku hanyalah tak tega melihat gadis kecil itu menangis, dan menurutku ikan badut itu patut untuk bebas, Salim."
"Sania, .. tolonglah jawablah dengan jujur, ini sebuah pilihan yang ku ajukan padamu. Tolong pilihlah dengan bijak. Aku mengerti, kau merasa tertekan dengan hubungan kita. Aku mengajukan sebuah pilihan untuk kita akhiri saja hubungan kita berdua, Sania. Secara lahir, kita terikat. Tapi batin kita tak pernah terikat sama sekali. "
                Inilah pilihan yang memberatkan hatiku, aku tak ingin mengecewakan kedua orang tua ku. Bukankah setelah kepergian Samir, aku bahkan bertambah payah dan tak bisa mengurusi perusahaan Ayahku itulah alasannya mengapa aku dijodohkan, yah itu mudah sehingga suamiku bisa mengurusinya. Dan dengan memutuskan hubungan ini bukankah aku hanyalah akan memperburuk keadaan saja. Kini, aku sudahlah mulai menerimanya, meskipun hubungan ini hanyalah sebuah label semata. Pilihan yang Salim ajukan padaku itu akhirnya membuatku mengakuinya bahwa aku mulailah mengakui perasaanku pada Salim, jujur ​​semenjak obrolan tadi pagi aku sudahlah menerimanya dalam hati sebagai pengganti Samir. Dan aku tak ingin jauh darinya. Aku inginlah selalu melihatnya tersenyum, itu saja.
"Kau tahu Salim? Untuk apa aku memutuskan semua hubungan kita?" Kusandarkan kepalaku di bahunya.
Salim kemudian menggeleng- gelengkan kepalanya dan berkata,
"Sania, ini takan pernah berhasil aku tahu bahwa kau tak sepenuhnya mencintaiku. Aku tahu kalau kau masihlah mencintai Samirmu itu. Kau bilang bahwa aku mirip sekali padanya, yakan? Aku tak ingin dicintai dalam bayangan orang lain. Aku ingin kau mencintaiku sebagai Salim dan bukanlah Samir. Aku akan menunggumu sanggup Sania, meskipun itu berarti seumur hidupku. "
Kemudian Salim menolak sandaranku itu, dan melanjutkan kata-katanya.
"Sania sebaiknya kita pulang, sudah terlalu sore. Ada satu hal yang ingin aku bilang padamu, ini masalah omongan ku malam itu."
Kutatap wajah Salim dalam-dalam,
"Aku .. memanglah..mencintaimu apa adanya Sania, pilihan yang ku ajukan padamu itu karena aku tak ingin melihatmu menderita lebih dalam lagi, itu terlalu menyiksa untukku."
Aku senang kau mengatakan kalau kau mencintaiku. Mungkinkah aku sekarang sudah menerimanya sebagai Salim dan bukan sebagai Samir?
"Salim, aku .. jatuh hati padamu. Bukan karena kau mirip Samir aku mencintaimu sebagai Salim itu saja."
                Seumur hidupku aku tak pernah mengungkapkan perasaanku dan lebih sering menyembunyikannya. Aku malu tak terbayang, kakiku reflek langsung berlari menuju mobil untuk pulang.  
                Di dalam mobil, ketika perjalanan pulang. Salim menatap wajahku,
"Eh, eh .. tak papa kok." Sambil tersenyum ia berkata seperti itu.                   
Andaikan semua bisa ku urai dengan kata-kata, aku sungguh bahagia melihatmu tersenyum dengan tulus. Karena, biasanya kau hanyalah tersenyum untuk sekedar menghiburku, yakan?
Beberapa kilatan cahaya menyilaukan itu mulailah memasuki jendela mobil, dengan sigap Salim memutar setirnya.
"Kau tak apa, Sania?" Tanya Samir, sesaat setelah mobil kami menabrak sebuah pohon dan sekarang ada di tepi jurang yang menganga lebar. Dengan kepala pening karena kepalaku terbentur begitu keras, ku jawab dengan nada senduku, "Tak apa." Ku tolehkan kepalaku itu kearah Samir yang juga mengalami pendarahan di kepalanya lebih hebat dariku.
"Salim .."
"Kita akan melaluinya bersama, kita akan selamat, Sania. Percayalah!"
Beberapa detik berlalu, mobil kami semakin lama semakinlah akan jatuh. Resah rasanya, mengapalah peristiwa itu terulang lagi? Tidakkah hanyalah cukup untuk sekali?
"Sania, kau harus keluar terlebih dulu. Kita harus bergantian keluar, pintuku terjepit dan yang hanya bisa untuk keluar hanyalah pintu di sisimu itu."
Beberapa detik berlalu, aku bahkan belum selangkahpun menuruti kata Salim. Apakah aku harus separah waktu dulu dan hanya menuruti kata-kata orang yang menolongku?
"Sania, kau harusnya percaya! Cepatlah keluar!" Dengan nada tingginya Salim meneriakiku.
Aku masihlah menggeleng dan menolaknya.
"Sania, percayalah padaku. Aku akan menyusulmu, karena aku takan mati. Aku masihlah ingin menemanimu menjalani hidupmu, aku masih ingin ada disampingmu untuk menghapus seluruh kesedihan dan luka-lukamu. Aku ingin membuka lembar baru tentang kebahagiaan dan bukanlah tentang kesedihan. Sekarang, hapus air matamu dan bergegaslah keluar terlebih dulu, "kata Salim dengan penuh kelembutan.
"Sebaiknya kau tepati perkataanmu itu. Janji?"
Salim menjawabnya mengulurkan kelingkingnya, seperti Samir dulu berjanji padaku. Ku raih kelingkingnya dan ia mengangguk-anggukkan kepalanya sambil menatapku dengan penuh senyum di wajahnya.
Ku mantapkan hatiku itu, sampai akhirnya akupun keluar dari mobil itu. Beberapa detik berlalu, pintu mobil yang aku buka tadi untuk keluar itu akhirnya tertutup rapat, menyisakan Salim di dalamnya. Seketika itulah tubuhku terbujur kaku, tertunduk aku disana. Sesaat kemudian hatiku yang mulai rapuh itu akhirnya mulailah kuat lagi, kaca pintu mobil yang tertutup rapat itu pecah. Dengan tubuh yang penuh luka itu Salim menghampiriku dan kemudian jatuh di pangkuanku.
"Kau baik-baik saja, Sania?"
Sorot matanya yang kuyu itu, semua hal yang terjadi tak mungkin hanyalah kebetulan belaka. Aku sungguhlah mengenal sorot mata itu.
"Samir ..."
Ketika itulah ia mengambil tanganku dan meletakkannya di dadanya.
"Apakah kau mengenali detak jantung ini, Sania?"
"Aku mengerti, mengapa tak kau katakan Samir, kau jahat."
Seketika itu senyumnyapun tersimpul di wajahnya, "Aku, hanya ingin kau mencintai diriku yang sekarang, Sania."
Itu bukanlah masalah bagiku, karena aku sekarang mengerti orang yang ku cintai sekarang ini adalah orang yang sama dengan orang yang ku cintai di masa lalu. Bagiku, cintaku, pengorbananku hanyalah untukmu dulu, sekarang, dan esok nanti. Aku mencintaimu seutuhnya.
                Mata kuyunya itu akhirnya menutup, aku tahu kau takkan pernah meninggalkanku, aku mengerti. Detak jantung itu masihlah terasa di tanganku yang menyentuh dadanya ini. Aku memeluknya, membuat bajuku terkena darah. Kemudian bersahutanlah orang-orang datang dan menggotong Salim menuju rumah sakit.
                3 hari aku masihlah menunggunya sadar. Walau harus bertaruh nyawapun akan aku lakukan untuknya. Kondisiku yang lemah setelah kecelakaan itu masihlah harus diperparah karenanya, stok darah di rumah sakit kecil ini tidaklah memadai, dan aku tak ingin kehilangan Samir untuk kedua kalinya. Dokter sudahlah melarangku untuk mendonorkan darahku itu, tapi aku menolaknya.
                Bola mata itu akhirnya mengerjab ke arahku. Simpul senyum itu mengulumlah ke arahku. Dengan segala kebahagiaan ini, aku .. tak ingin meminta hal lain. Hatiku sudahlah penuh terisi dengan kebahagiaan ini.
"Kau bodoh, Sania."
"Kau bahkan lebih bodoh dariku, kau melakukannya dua kali untukku."

Aku mengerti sekarang, karena kau takkan selamanya mebiarkanku untuk menunggumu.

Kamis, 14 Mei 2015

kisah-kisah

Candra Mandala
        Di sebuah desa yang jauh dari pusat pemerintahan,di sana hidup seorang gadis bernama Candra. Ia adalah gadis yang sangat patuh pada orang Tuanya. Masa remajanya terenggut, tidak pernah ada lagi senyum yang menggantung di wajahnya semenjak ibunya sakit.
        Percikan air terjun pagi hari yang menyejukkan itu membasahi gadis-gadis yang mencuci di air terjun itu. Terkadang ada pula satu dua remaja laki-laki tanggung yang jahil mengapungkan sabut yang berisi surat. Satu dua surat itu menghampiri Candra tiap kali ia mencuci. Tapi, baginya tidak ada waktu untuk memikirkan hal-hal tak penting seperti itu. Hidupnya dipenuhi dengan kerja keras, demi kesembuhan ibunya.
        Pada suatu hari, datanglah prajurit berkuda mengumumkan perintah dari Raja. Dan sialnya, bukan pengumuman seperti di cerita Cinderella. Ini pengumuman tentang mengirimkan seorang putra untuk mengikuti latihan senjata,dan dijadikan prajurit.
“Candra, kau tahu mengapa Ayah memanggilmu?”
“Ayah, aku sudah selalu menuruti semua kata Ayah. Tapi soal menyamar jadi laki-laki aku tak bisa.”
Sejenak Ayah Candra terdiam dan kemudian ia meneruskan perkataannya,”Sebenarnya Ayah juga tak ingin kau melakukannya, Candra. Tapi, jika dari keluarga  kita tak ada yang dikirim, keluarga kita akan diusir dari sini, Candra.Kau tahukan apa itu artinya? Tidak akan ada kerajaan yang menerima buangan dari kerajaan ini, kerajaan ini terlalu banyak musuh,Candra. Dengan begitu, kita akan menjadi pengembara. Itu tak masalah untukmu dan Ayah, tapi ibumu?”
        Dengan berat hati akhirnya Candra menerima perintah Ayahnya. Mulai hari itu, rambutnya tak pernah terurai lagi. Dimasukkannya rambutnya itu dalam kain, dan tak ada satupun di tempat pelatihan itu yang tahu kebenaran bahwa ia adalah perempuan.
        Setiap kali pelatihan itu dimulai, tiap kali pelatih itu mengajarkan sesuatu hal, di waktu itu juga Candra ingat kata Ayahnya. Bahwa ia harus berlatih keras supaya penyamarannya tak dicurigai,dengan itulah ia mau bekerja keras. Dan yang utama baginya adalah  ini semua untuk kesembuhan ibunya, hanya ibunya.
        Di sisi lain,Pangeran kerajaan itu sedang dilanda sebuah pemikiran yang memberatkan. Perasaanlah yang menuntunnya memikirkan hal itu, tiap kali ia melihat banyak prajurit kerajaan itu yang gugur dan tiap air mata dari setiap ibu di sana. Ia merasa paling lemah walau sebenarnya kedudukannya ada di atas. ‘rakyatku berkorban banyak sekali, dan aku hanya bisa memikirkan ini. Tak bisa melakukan apapun’ pemikiran itu datang membuatnya kian hari menjadi semakin resah. Akhirnya,ia putuskan untuk membujuk Raja mengirimkannya untuk berlatih senjata. Awalnya Raja menolak, tapi pada akhirnya ia meng-iakan keinginan Pageran itu dengan satu sarat,bahwa ia harus menutupi identitasnya sebagai Pangeran, karena terlalu berbahaya jika musuh tahu,Pangeran sedang berpergian tanpa membawa prajurit.
        Ditengah latihan, tiap hari tiada hentinya ia menatap seseorang di sana. Antara kagum atau apa ia tak tahu kebenarannya. Hingga suatu malam ketika seluruh orang tertidur ia melihat orang yang dikaguminya itu berlatih di bawah purnama.
“Hei, bolehkah aku ikut berlatih,Tuan?”
Dengan wajah kuyunya orang itu meng-iakan tawaran Pangeran itu. Tak disengaja, senjata Pangeran itu mengenai kain yang menggulung di atas kepala lawannya. Angin yang yang berhembus mengibarkan rambut panjang orang itu dan cahaya purnama memancarkan sinar di mata gadis itu. Sekejap Pangeran terpana akan kecantikan gadis di hadapannya,tapi itu lain bagi gadis itu. Berlututlah ia meminta janji dari Pangeran itu.
“Ku mohon, Tuan. Jangan beritahu siapapun soal kebenaran ini! Ku mohon.”
Untuk apa Pangeran itu membiarkan orang tahu tentang kebenaran ini. Dan sekarangpun kekagumannya pada orang dihadapannya itu sudah ia mengerti, bahwa ia mulai jatuh hati kepadanya.
“Berdirilah, jangan seperti itu!Aku takan bilang pada siapapun. Siapa namamu?”
“Namaku Candra ,Tuan.”
“Jangan panggil aku Tuan, itu terlalu tua Candra. Panggil aku Mandala. Tersenyumlah!”
Tersenyumlah Candra untuk sekian lamanya di sana.
        Mulai hari itu,tiap malam Candra dan Mandala berlatih bersama. Dan ketika mereka sudah lelah merekapun terduduk dan bercerita berdua.
“Kau tahu? Kau hebat Candra,tadi siangpun kau bisa mengalahkan para senior. Apa rahasianya?”
“Emh.. ini semua untuk ibuku di sana.” Candra berkata sambil melihat bulan muda di langit. Dan kemudian ia teruskan kata-katanya itu,”Aku selalu melakukan apapun untuk orang yang aku cintai,walau aku harus menderita itu tak masalah untukku,Mandala.”
“Memangnya ada apa dengan ibumu?”
“Ibuku sakit keras semenjak aku lahir,dan sekarang tidak ada anak lain selain aku di rumah itu. Keputusan Raja itulah yang membuatku sampai menyamar seperti ini,sebenarnya aku ingin menjadi wanita,tapi itu tak penting sekarang ada orang yang ku cintai di.. rumah. Dan mengapa kau suka rela mengikuti pelatihan ini,Mandala?”
“Alasanku sama denganmu Candra terlalu banyak orang yang aku cintai di kerajaan ini, aku tak ingin mereka bersedih,Candra. Dan yang paling aku cintai adalah...”
Kata-kata Mandala akhirnya terpendak di tengah jalan,ia mungkin berani mengorbankan nyawanya untuk rakyatnya, tapi untuk mengungkapkan perasaannya ia belum berani.
        3 tahun berlalu,kedekatan Candra dan Mandala menjadikan perasaan mereka semakin mendalam di antara keduanya. Dimana ada Candra di sana selalu ada Mandala. Mereka bagai bumi dan rembulan yang selalu megelilingi matahari bersama.
        Datanglah sebuah perang besar antara dua kerajaan yang membuat kerajaan tersebut membutuhkan tambahan prajurit. Akhirnya,Candra dan Mandala diikutkan di dalamnya. Musuh kerajaan itu berprajurit sangat kekar. Pertahanan mereka bahkan tak tertembus dalam 3 hari,dan di sana Mandala yang sudah menderita beberapa luka di tubuhnya itu tetap bertahan di dalamnya. Melihat Mandala yang kesakitan, Candra tak tega. Akhirnya,pada hari ke-4 dengan keberaniaanya ia menghadap pada panglima perang,mengusulkan startegi yang disusunnya. Awalnya panglima itu menolak,tapi atas bantuan seorang Penasihat Raja, akhirnya starteginya dipakai juga. Baru ½ hari perang itu berlangsung,pertahanan musuhpun akhirnya tertembus. Pasukan musuh berhasil dibuat kocar-kacir dengan startegi Candra. Kemenangan akhirnya berpihak di kerajaan itu. Kerajaan jadi berutang budi dengan Candra, kerajaan itu akhirnya memberi janji pada Candra untuk mengangkatnya menjadi panglima perang. Pengangkatan itu akan dilakukan bersamaan dengan pengenalan Pangeran kerajaan itu dengan rakyat.
        Di tengah malam purnama,di sana terduduklah Candra dan Mandala. Kali  ini bukan untuk berlatih,ada sesuatu hal yang ingin Mandala bicarakan. Ini tentang perasaannya.
“Mandala,besuk aku akan diangkat sebagai panglima perang bagaimana menurutmu?”
Tanpa menjawab pertanyaan Candra,Mandala meraih kain yang membalut kepala Candra. Dan disisirnya rambut panjang itu dengan jarinya.
“Bagiku,kau tetaplah seorang gadis yang manis.  Aku sangat senang ketika rambutkmu itu terurai Candra.”
“Kau tahu Mandala? Aku bahkan terkadang aku lupa bahwa aku seorang wanita.”
Di tatapnya gadis yang berkata dihadapannya itu,melihat senyumnya itu sudah membuat rasa sakit pada tubuhnya itu hilang walau beberapa saat.
“Candra ini masalah perasaanku selama 3 tahun terakhir ini, sebenarnya sejak awal aku sudah mulai tetarik padamu,Candra.”
“Maksudmu?”
“Candra,aku mencintaimu.”
Pada malam itu Candra hanya terdiam sambil menatap Mandala.
        Datanglah hari dimana pengangkatan dan pengenalan pangeran itu terlaksana. Di istana yang megah itu berdirilah Candra di sana dan diterimanya pedang dan baju besi itu sebagai pengangkatannya. Setelah itu, seorang Perdana Mentri mengatakan,”Sambutlah pangeran kita yang kita nanti-nanti selama 18 tahun disembunyikan identitasnya. Pangeran Mandala.”. Dalam hati Candra hanyalah sebuah penyesalan,bukan karena kedudukan Mandala sebagai pangeran. Tapi,ia sudah mencintai orang yang salah. Mencintai seorang bangsawan,itu hanyalah akan menciptakan sebuah kehancuran. Bagaimanapun para bangsawan biasa menikah dengan sesamanya sebagai jalan lain menyelesaikan masalah tanpa perang. Sejak saat itulah Candra menjauhi Mandala.
        Di suatu malam yang sunyi,di malam purnama meninggi. Teringatlah keduanya akan sang jantung hati,menatap rembulan sama halnya menatap masa lalu sendiri. Bahkan sekarang keduanya takan pernah bersatu lagi,Mandala sudah akan menikah dengan putri kerajaan lain untuk menghindari peperangan. Dalam penglihatan Candra,adahal yang sebetulnya ingin ia ungkapkan kepada Mandala ‘Mandala,kau tahu? Sejak mengenal dirimu,aku tahu apa itu arti bahagia dan hatiku selalu terisi penuh karena kebahagian itu,terkadang aku lupa jika aku adalah seorang wanita,tapi jika di sandingmu aku selalu merasa sebagai wanita. Di istana ini,hanya kau yang menganggapku seorang wanita. Aku ingin masa-masa dulu kembali,aku tersiksa dengan tiada dirimu di sisiku,Mandala’. Di waktu yang sama di sana Mandala juga sedang menatap rembulan yang sama,merindukan Candra.
        Hari pernikahan Pangeran Mandala dan Putri Rengganis datang,sebelum pernikahan itu Mandala menyempatkan menemui Candra di kamarnya. Candra sudahlah berbeda dari yang dulu,ketika Mandala meminta bicara padanya, tertutuplah pintu itu dengan begitu rapatnya. Dan Mandala hanya berkata,
“Candra,aku tahu kau mencintaiku walaupun kau tak pernah ucapkan itu. Ingatkah kau bahwa kau pernah bekata padaku Candra? Bahwa kau selalu melakukan apapun untuk orang yang kau cintai,kau menyerahkan startegi perang itu karena kau tak ingin melihatku terluka semakin parah lagi, ya kan? Tapi,asal kau tahu bahkan jika 100 pedang menusuk tubuhku,aku takan pernah mengeluh kesakitan karenanya,Candra. Aku sudah lebih sakit jika kau memalingkan dirimu dariku. Karena aku takan selamanya berpaling darimu Candra,ini kata-kataku yang takan pernah ku tarik,hatiku hanya untukmu seorang.”
        Pernikahan itu hanyalah menjadi sebuah olok-olok bagi Putri Rengganis. Beberapa hari setelah kejadian itu,terangkatlah pedang para kesatria di medan pertempuran.
“Mandala,aku ingin bicara denganmu.” Pinta Candra pada Mandala di suatu malam sebelum perang itu berlangsung. Hati Mandala yang merindukan Candra itu mulailah sedikit terisi karnanya. Di tempat yang sepi,mereka bicara 4 mata.
“Hal bodoh apa yang kau lakukan Mandala? Kau bisa mati karena perbuatanmu,”maki Candra pada Mandala.
“Aku takan pernah takut mati,Candra. Aku hanya takut jika kau pergi,anggap saja ini bukti kesungguhanku.”
“PLAK..,” tamparan itu menjatuhi di pipi Mandala. Candra akhirnya pergi meninggalkan Mandala sendiri.
Tapi,asalkan Mandala tahu bahwa setelah Candra menamparnya,Candra menangis sambil berkata,“Kau tak boleh mati Mandala. Kau harus tetap terlihat hidup di mataku.”
        Perang akhirnya tak bisa dihindari juga,genderang itu akhirnya dipukul dengan begitu kerasnya,angin berhembus membisikkan akan banyak pertumpahan darah di sini dan akan ada tangis para orang tua yang kehilangan anaknya. Cinta egois Mandalalah penyebabnya.
        Startegi itu dibuat Candra dengan akurat,ini dilakukannya untuk menghindari lebih tumpah darah yang akan dikorbankan. Startegi itu akhirnya berhasil,   kemenangan gemilang sepenuhnya ada di tangan para prajuritnya. Rupanya ini hanyalah pengecoh,tujuan utamanya adalah Pangeran Mandala sebagai pelaku penghinaan.
        Di ambil olehnya kuda itu dan dipacunya dengan cepat,semoga belum terlambat. Masuklah Candra ke gerbang istana,dan dilihatnya pemanah yang sedang menatapkan anak panahnya ke arah Mandala. Akhirnya,satu anak panah itu tertancap hampir di dada kiri Candra. Terjatuhlah Candra di pangkuan Mandala.
“Candra, mengapa kau lakukan ini?”
“Semestinya memang seperti ini,nah yah seperti ini. Candra(rembulan)dan Mandala(bumi) bolehlah jatuh hati. Tapi Mandala,jangan pernah kau satukan keduanya,Mandala. Jika bersatu,kerusakan seperti inilah yang terjadi.”
“Ini tak adil,Candra. Ini tak adil.”
“Semuanya berjalan dengan adil Mandala,dahulu aku samalah ada di sisi gelap bumi sama-sama tak kau kenal. Dan mulailah aku dikenal dirimu,sekarang aku menyebrang lagi ke sisi gelap itu,dan walaupun kau tak bisa menatapku selamanya aku akan mengawasimu. Jika suatu saat kau merasa sendiri tanpa kehadiranku,janganlah bersedih dengan apa yang terjadi. Karena pada hakikatnya aku selalu ada di sampingmu. Aku..aku mencintaimu,Mandala.”
Sekejab pandangan Candra pada Mandala hilang. Hal yang selalu membuat Candra tetap bertahan hidup walau tanpa dunia mengenal kebenarannya adalah Mandala. Baginya,nyawa Mandala adalah sangat penting baginya. Karena walaupun Candra tetap hidup,dan Mandala mati hidup Candra akanlah sama seperti dulu tetap menyedihkannya seperti masa lalu. Senyum Mandala adalah segalanya untuk Candra.
        Kisah ini bukanlah hanya bercerita tentang kisah cinta, cerita ini mengajarkakn bahwa terkadang orang yang sedang jatuh cinta buta akan kebenaran dan terlihat lebih egois untuk memiliki seseorang yang dicintainya.

Dan satu lagi,cerita ini hanyalah fiktif belaka. ho..ho.. seperti sinetron. :D



Parakan,15 Maret 2015